Rabu, 30 April 2025

Sekelumit Cerita dari Ratusan Ribu Cerita Pilu...

Ditulis oleh Khadijah Khuwais #Srikandi Penjaga Masjidil Aqsa

Pada hari pertama di Penjara Ramla, mereka mencabut peniti yang menahan jilbabku.

Setelah pulang dari sidang pengadilan pertamaku, mereka kembali menghinakan: gelang tanganku dilarang, katanya, itu dianggap "aksesori tambahan".

Tanpa belas kasihan, penjaga penjara merampasnya dari tanganku dan melemparkannya ke tempat sampah.

Aku menahan pedih itu. Lengan gamisku sempit, aku tak butuh gelang... aku menenangkan diriku begitu.

Suatu malam, setelah seharian terombang-ambing di dalam bus, baru saja kupejamkan mata di sel saat mereka memanggilku lagi—untuk penyelidikan.

Aku bersiap tergesa. Kaus kakiku masih basah, baru saja kucuci, dan kupakai seadanya.

Ketika sipir membelenggu kakiku, dia mendesis,
"Saat kau kembali, lepaskan kaus kakimu!"

Sepulang dari penyelidikan lewat tengah malam, kaus kakiku direnggut dan dilempar ke tong sampah—seperti sampah itu, seperti aku dianggap mereka.

Sepuluh hari berlalu sejak penangkapanku. Aku kini terkurung sendiri, terisolasi dari manusia—hanya berteman shalat, Al-Qur’an, munajat, air mata, dan rintihan hati memohon pertolongan dari Allah Yang Maha Tinggi.

Di luar, bangsal isolasi penuh dengan teriakan, caci-maki, kegilaan.

Tapi aku... aku memilih diam, menahan badai di dadaku.
Pada sidang kelimaku, sepulang ke penjara, petugas memanggilku.

Dengan suara dingin, mereka berkata,
"Mulai hari ini, kau dilarang memakai jilbab dan cadar di penjara ini."

Aku kehilangan kata-kata.

Aku, yang selama ini menahan air mata agar tak memuaskan tawa sipir, aku yang berjanji pada diri sendiri takkan menangis di hadapan mereka—hari itu aku runtuh.

Aku menangis tersedu-sedu, di hadapan mereka, tanpa daya.

Tangisku pecah, seperti pintu-pintu kesabaran yang akhirnya hancur.

Mereka menyeretku ke kantor polisi.

Sipir memerintahkan:
"Lepaskan cadarmu."

Tanganku gemetar. Cadar itu dilucuti dari wajahku.
Lalu,
"Lepaskan gamismu, atau kami akan memaksanya."

Tak ada pilihan. Dengan hati terkoyak, aku lepaskan gamisku di depan mereka.

Mereka membawaku kembali ke sel, menyeret langkah-langkahku yang gemetar, dalam hinakan tanpa akhir.

Aku menangis seperti belum pernah aku menangis seumur hidupku.

Aku berdoa agar air mataku berhenti, tapi demi Allah, ia terus mengalir!

Aku, yang telah mencapai usia empat puluh tahun, belum pernah melepas jilbabku sejak aku berusia tujuh tahun.

Aku, yang tak pernah terlihat tanpa gamis sejak usia lima belas.

Kini, orang-orang keji itu menatap tubuhku tanpa jilbab dan cadar.

Aku menjerit.

Aku memanggil Al-Mu'tasim, aku berteriak kepada Sholahuddin,
aku memohon pada Tuhanku...

Yang menjawabku hanya gema dingin dari dinding-dinding batu.

Aku menangis selama dua jam penuh.

Aku shalat Isya tanpa jilbab, tanpa sujud penuh, karena lantai penjaraku berlumur kotoran.

Aku meminta kepada Allah hanya satu hal: agar aku tidur dan tidak hancur berkeping-keping karena derita ini.

Akhirnya aku terlelap hingga fajar.

Saat para penjaga menghitung kami pagi itu, aku kembali menangis dalam diam, menyembunyikan wajahku di antara tangan-tanganku.

Tak lama, penjaga pria memasuki sel untuk menggeledah.

Aku kembali menangis, memohon:
"Jilbabku, gamisku, itu bagian dari diriku. Melepasnya sama saja dengan menguliti tubuhku. Tanpa itu, shalatku tidak sah. 
Dan tidak halal bagiku dilihat laki-laki asing."

Tapi kata-kataku bagai angin lalu.

Hari itu mereka memindahkanku.

Sekilas kupikir tempat baru itu lebih baik.

Tapi begitu masuk, aku mendapati sebuah sel dua meter kali dua meter,
lantainya basah oleh air kotor dari toilet rusak,
kasurnya lapuk berkarat, penuh kecoak mati,
toiletnya tergenang tinja, tisu busuk, dan bau busuk menusuk.

Dua kamera mengintai seluruh gerak-gerikku—dari ranjang ke toilet, dari dinding ke pintu kaca bening.

Semua penjaga bisa melihatku. Tak ada privasi, tak ada kehormatan.

Ini bukan sel, ini kubangan najis.

Aku berwudhu di lantai kotor itu, shalat tanpa jilbab, tanpa sujud sempurna.

Keesokan paginya, baru diberikan jilbab dan gamis untuk ke pengadilan.

Aku tiba di ruang sidang dengan wajah kusut, tubuh lelah, mata bengkak karena tangis tanpa henti.

Dalam gambar pengadilan, aku ceritakan semua:
bagaimana jilbabku direnggut, gamisku dicopot, tubuhku dinistakan.

Bagaimana aku dipaksa shalat di atas tanah najis, tanpa penutup diri.

Seluruh penindasan dunia seolah berkumpul di wajahku hari itu.

Pengacaraku membela dengan gagah berani.

Di hadapan semua, ia ungkapkan penderitaanku.

Wajah-wajah terkejut, mulut-mulut bungkam, tak mampu membayangkan kebiadaban itu.

Berkat pembelaannya, pengadilan memerintahkan agar jilbab dan gamisku tidak direnggut lagi, dan aku dikembalikan ke sel lamaku.

Namun saat hendak kembali, sipir kembali menolak.

Mereka ingin menguliti harga diriku sekali lagi.

Kali ini, aku tak tinggal diam.

Aku berteriak "Allahu Akbar" berulang-ulang, empat jam lamanya, hingga suara serak dan tubuh gemetar.

Akhirnya mereka menyeretku ke kepala penjara.

Di sana, dengan napas tersengal, aku tunjukkan surat keputusan pengadilan.

Mereka terpaksa patuh.

"Cukuplah Allah bagiku, dan Dialah sebaik-baik Pelindung. Kepada-Nya aku adukan seluruh duka dan luka."

Tidak ada komentar: